Home » » Memoar Imam Samudra

Memoar Imam Samudra


Di penjara, Imam Samudra menulis memoar. Amerika menjadi musuh abadi. Inilah sebagian kutipan memoar terpidana mati, Imam Samudra.

Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala
dibentur di tembok-tembok Palestina
Jeritmu wahai bayi-bayi Afghanistan
yang memanggil-manggilku tanpa lengan
dieksekusi bom-bom jahanam
Milik setan amerika !

Dari balik tembok penjara Kerobokan, Bali, Imam Samudra mencatatkan kenangannya tentang aoa yang disebutnya sebagai jihad. Lewat buku tulis setebal 200 halaman, sejumlah peristiwa dalam hidupnya berkelebat, dengan tulisan tangan impresif. Inilah memoar yang ditulis dengan huruf kecil dengan keyakinan yang teguh, "Untuk menghemat halaman," ujarnya saat dibesuk TEMPO. Sejumlah tulisan itu diberinya tanggal, tapi banyak juga yang tidak. Imam, sang terpidana mati kasus bom Bali, menyebut karyanya sebagai Biografi (Setengah Hati).


Setengah hati? Simaklah alasan dia, yang dipetik dari buku itu: "Aku paling tidak suka mengisi buku diary, yang biasanya meminta biodata, kata mutiara, dsb, dsb," demikian ia menulis. Apalagi, kata dia, sejak terlibat dalam "perjuangan menegakkan kalimat Allah", dia merasa wajib menjunjung tinggi kerahasiaan. Meski begitu, sebagian sejarah itu tetap dia tulis dengan satu prinsip: "menghindari hal-hal yang membatalkan pahala". Walhasil, jadilah buku itu penuh kelebatan pikiran, kenangan, dan tak lupa, petikan Al-Quran dan hadis.

"Aku lahir di Desa Lopang Gede, Banten, 14 Januari 1970," demikian ditulisnya di bagian yang diberi anak judul Childhood, satu fragmen dalam tulisan bertajuk Biografi (Setengah Hati) itu. Lahir dengan nama Abdul Aziz, Imam kecil tumbuh dalam keluarga pedagang. Dia mengingat secara detail saat duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairiyah, Serang. "Sekolah agama yang tak terlalu ketat, dengan meja-meja yang telah dimakan rayap," Imam menulis. Saat di bangku sekolah dasar, dia pernah menjadi siswa teladan dan memenangi cerdas cermat P-4.

Dia juga mengisahkan masa remajanya, di SMP maupun SMA, yang ditempuh dalam "keadaan sekuler". Di bangku SMP, Imam punya prestasi cemerlang, masuk peringkat tiga besar tingkat kabupaten. Tapi, Imam sendiri tak begitu suka dengan suasana sekolah seperti itu. Dia lebih suka menyendiri, membaca buku di perpustakaan. "Aku lebih tertarik dengan ensiklopedia bergambar tentang alam semesta. Satu-satunya novel yang kubaca Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Buya Hamka.

Pergulatannya soal agama mulai tumbuh. "Pohon pinus dan bangau, penetrasi sinar matahari. Salju di puncak gunung, indah subhanallah," tulisnya tentang satu lukisan di kamar belajar sewaktu Imam masih duduk di bangku SMP Negeri 4 Serang, Banten. "Di sebelah lukisan itu, ada rumus-rumus yang membosankan. Di bawah rumus-rumus itu ada tumpukan buku, di antara buku-buku itu ada sebuah buku Aayaturahman Fie Jihadil Afghanistan (Tanda-Tanda Kekuasaan Allah dalam Jihad di Afghanistan) oleh Dr. Abdullah Azzam." Azzam adalah doktor fikih jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir. Dia kelahiran Palestina, namun bergabung dengan mujahidin di Afghanistan. Azzam tewas akibat serangan bom di Peshawar pada 1989.

Karya Azzam membangkitkan semangat jihad luar biasa. Imam menulis: "Mereka yang sempat membaca buku itu, insya Allah, akan tergerak hatinya untuk berangkat jihad, angkat senjata ke Afghanistan. Tapi waktu itu umurku baru 16 tahun, baru bisa membayangkan, menghayati, dan kemudian melamun."
Sejak membaca "buku ajaib" itu, kata Imam, dia selalu berdoa agar Allah memberinya kesempatan untuk bergabung dengan para mujahidin di Afghanistan. "Sejak itu pula aku berhenti menonton televisi dan mendengar musik. Dan saat itu juga aku menjadi semacam 'introvert'," demikian dia tulis. "Intifadah di Palestina dan jihad di Afghanistan membuat diriku benar-benar gerah dan gundah."
Potongan puisi di atas, misalnya adalah ungkapan kegalauan Imam atas nasib kaum muslimin di Palestina dan Afghanistan. Di bagian lain buku itu, pada tulisan bertajuk Biar pun Terluka di Mata Sejarah, Afghanistan adalah sebongkah duka yang berlarat-larat. "Sampai saat buku ini kutulis, aku sama sekali tidak dapat melupakan image yang terlanjur kuat melekat dalam memori benakku. Saat aku surfing di dalam lautan internet, kutemukan gambar bayi-bayi tanpa kepala dan tangan yang rusak akibat kebrutalan pasukan salibis Amerika dan sekutunya saat membombardir Afghanistan pada Ramadan 2001...."

Kedukaan itu terus merasuk dari layar maya. "Image itu hanya berupa foto dari kejadian asli yang kemudian di scan, dimasukkan ke komputer, lalu diupload ke alam Internet. Memang mati, tanpa suara, bisu. Tapi roh kesakitan dan derita mereka telah menempati rongga hatiku, menampang kepedihan dari ayah-bunda mereka. Aku meyakini akan adanya telepati. Dengan kehendak Allah, aku benar-benar merasakan kepedihan-kepedihan dan kesakitan demi kesakitan yang mereka alami."
Kesakitan itulah yang lalu menuntunnya ke Afghanistan, sebuah negeri yang saat itu riuh oleh pertempuran kaum mujahidin melawan pendudukan Rusia di sana. Afghanistan begitu jauh dari kampungnya di Serang, Banten. Dalam coretan berjudul Saat Salju Tiba dan Rindu pun Menjelma, Imam mengisahkan bagaimana hidupnya berubah sejak mengenal jihad.

Begitu lulus Madrasah Aliyah Negeri Cikulur, Serang, pada 1990, Imam pun menuju Jakarta. Di Masjid Al-Furqan, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta, cita-cita itu menemukan jalan. Di sana, dia bertemu Jabir (Jabir kelak tewas saat merakit bom untuk aksi malam Natal Desember 2000, di Bandung -Red). Setelah berbincang seputar soal jihad, melihat kesungguhan Imam, Jabir menawari anak Serang itu berangkat ke Afghanistan. Bukan main senangnya Imam. Setelah pamit ke orang tuanya di Serang dan mengumpulkan sejumlah uang, antara lain dari honornya menulis artikel di majalah Panji Masyarakat, akhirnya dia mengurus paspor ke Jakarta. Dalam pekan itu pula, Jabir dan Imam menuju Dumai, Sumatera Selatan. Tujuan mereka: Melaka (Malaysia). "Dumai-Melaka terkenal sebagai 'jalur-TKI' (tenaga kerja Indonesia)," kenangnya. Lolos pemeriksaan di imigrasi, dia menuju Bandara Subang Jaya, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia. "Begitu pesawat MAS (Malaysian Air System) take off, aku merasakan betapa berat meninggalkan Tanah Air, orang tua tercinta, dan sanak-saudara," tulisnya. Dan sekelebat muncul juga bayangan seorang perempuan. Zakiyah, yang ditaksirnya sejak SMP di Serang. "Ada perasaan yang lain," ujarnya. Kelak, perempuan yang sangat dicintainya itu dinikahinya pada 1995, sepulang dari Afghanistan.

Imam akhirnya tiba di Karachi, Pakistan. Rombongan mujahidin asal Indonesia itu pun menuju Peshawar. "Esok harinya, perjalanan ke negeri impian para lelaki dilanjutkan," tulis Imam di buku memoarnya. Saat melintasi perbatasan Pakistan-Afghanistan itu, dia mengenakan pakaian khas Afghanistan, "Menutup seluruh wajah, kecuali mata dengan menggunakan ridah (selimut tipis), tidak mengucapkan sepatah kata pun," ia melanjutkan.

Menjelang senja, setelah berjalan kaki empat jam dari perbatasan, dia tiba di sebuah kamp yang terkenal dengan sebutan Muaskar Khilafah. Di sana, seperti diakuinya, dia menapak sebuah kehidupan baru. Imam menuliskan "kehidupan baru yang sangat membahagiakan itu" dengan frasa berikut: "'Musik' kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar, dentuman Zigoyar dan Da-Scha-Ka (senjata anti-pesawat). 'Nyanyian' kami adalah nasyid (sejenis acapella, pembangkit semangat jihad). 'Senandung' kami adalah lantunan ayat-ayat Al-Quran yang tak pernah berhenti selama 24 jam saling bergiliran." 

Tempat itu ternyata bernama Khost. Di sana, dia tiba menjelang musim gugur. "Daun-daun zaitun masih kekal bertahan. Daun-daun 'caparkat' dan 'cactus' Afghan telah luruh. Tinggallah duri dan kayunya yang kelak dibakar untuk memasak dan pemanas. Anor (buah delima) tak lagi berbuah, runtuh dedaunannya sudah. Saghol (serigala) melolong di tengah malam, selapis jaket mesti dikenakan." Dan Khost, tulis Imam, bukan tempat biasa. "Bukan kampus orang-orang Eropa atau Amerika yang mengisi kehidupan mereka dengan segala kemaksiatan dan kemeriahan dunia." Khost adalah: "Sekeping tanah di bentangan bukit. Sewaktu-waktu, kapan saja, musuh hendak dan mau, mereka menyerbu, melontar mortar, memuntahkan peluru, dan terjadilah perang seru." Ajal memang di tangan Allah, tutur Imam, "Tapi di Khost, dan front jihad lain di Afghanista, kematian terasa begitu dekat."

Bagian yang menarik adalah pergumulannya di dunia maya. Imam, yang mengaku bisa betah sehari semalam di depan layar komputer itu, membagi ilmunya menjebol situs maya. "Hacking, Darimana Mulai?" memuat petunjuk praktis bagaimana seorang bisa menjadi hacker. Dia juga memberi kiat carding alias menjebol kartu kredit orang lain saat terjadi transaksi di Internet. "Modal seorang hacker adalah otak," demikian ia menulis. "Cyber war adalah pertempuran abadi. Para hacker muslim tidak akan membiarkan Amerika dan sekutunya nyaman dalam jaringan komputer mereka," tulisnya lagi. Jika ia membenci Amerika, yang dianggapnya puncak konspirasi kaum Nasrani yang dia sebut salibis dan zionis internasional itu, kenapa justru Bali menjadi sasaran? Dalam satu tulisannya, Mengapa Bom Bali?, Imam menjelaskan: "Sabar dulu. Bali sama sekali bukan targetku. Dan, kalian kawanku, Bali hanyalah sekeping tempat di mana berlindungnya teroris Amerika dan sekutunya."

Lalu, ketika disusul pertanyaan: kenapa tidak dilakukan saja di Amerika, atau Australia, Prancis, Jerman, Belanda, atau di negara-negara sekutu Amerika lainnya? Dia menjawab sendiri: "Karena aku wanted, wanted, dan wanted. Itu satu di antara jawaban paling mudah dipahami. Kalau tak wanted pun, bukan urusan mudah mendapatkan visa dari negara-negara itu. Faktor lainnya cukup susah atau barangkali tidak bisa menyediakan dan memperoleh infrastruktur dengan kepentingan attack di dalam negara-negara sekutu monster tersebut. Dengan kata lain, ability dan possibility kita tidak memungkinkan beroperasi di dalamnya," ia menjelaskan.

Semudah itukah menentukan Bali sebagai killing zone? "Itu bukan masalah sepele. Penentuan target tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Apalagi menyangkut masalah nyawa. Tapi, apa pun ceritanya, manusia tak mengerti hakekat jihad pasti mengutuk dan memberi komentar yang mengelirukan, menyesatkan, dan menyakitkan," dia memberi dalih. "Luka-luka Palestina belum lagi mengering. Isak dan tangis bayi-bayi kecil tanpa kepala, tanpa telinga, tanpa lengan dan kaki, terus membayang di awang-awang. Siapa peduli mereka?"

Dan Imam memang seorang true believer. Dia menempuh jihad sebagai jalan pembalasan atas penindasan di dunia Islam yang tertindas di Afghanistan dan Palestina. Lalu, bom pun meledak di mana-mana, di tempat yang jauh dari Afghanistan, sampai akhirnya melumat 202 jiwa di Bali. Pengadilan telah menjatuhkan vonis mati bagi dirinya. Tapi, surutkah dia? Dalam tulisan Escape, yang seakan disiapkannya menyonsong maut, Imam menulis: "Rohku tak lagi terpenjara. Kini jiwaku ada di negeri para syuhada, negeri sejuta duka. Afghanistan."

0 komentar:

Posting Komentar