Kisah ini Sudah sangat terkenal.
Penulis diambil dari salah seorang blogger. Ada beberapa referensi lain, misalnya dari milis, Myquran. Yang saya pahami, bahwa kisah ini hanyalah karangan seorang sastrawan Aceh, untuk memberikan semangat kepada pemuda
pemuda di Aceh dalam melawan penjajahan. Jadi bukan kisah nyata.
Wallahu a’lam. Namun demikian, alangkah bagusnya jika kita bisa
mengambil ibroh/pelajaran dari kisah kisah tersebut.
__________________________________
Dalam
suatu kisah yang dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin
Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak
berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat.
Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat
111, yang artinya sebagai berikut :
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka"
Selesai
ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih
bangkit dari tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari
ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata:"Wahai Abdul Wahid, benarkah
Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga
untuk mereka?" "Ya, benar, anak muda" kata Abdul Wahid. Anak muda itu
melanjutkan:"Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai
sekarang aku jual dengan sorga."
Anak muda itu
kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi
perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu
pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah
orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda
itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk
beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan
serta sering menjaga kami bila sedang tidur.
Sewaktu
sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran,
tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:"Hai, aku ingin segera
bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ." Kami menduga dia mulai ragu dan
pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu.
Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi.
Seseorang datang kepadaku seraya berkata: "Pergilah kepada Ainul
Mardiyah." Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat
sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari
duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala
melihat kedatanganku , mereka bergembira seraya berkata: "Inilah suami
Ainul Mardhiyah . . . . ."
"Assalamu’alaikum"
kataku bersalam kepada mereka. "Adakah di antara kalian yang bernama
Ainul Mardhiyah?" Mereka menjawab salamku dan berkata: "Tidak, kami ini
adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu" Beberapa kali aku sampai pada
taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi
jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku
meneruskan langkah.
Akhirnya aku sampai
pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah
terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak
sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: "Hai Ainul
Mardhiyah, ini suamimu datang . …"
Ketika
aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di
atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia
berkata: "Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena
ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu." Anak muda melanjutkan
kisah mimpinya: "Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar
lagi menanti terlalu lama".
Belum lagi
percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri
sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak
mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu
penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira,
senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk
meninggalkan dunia. ( Irsyadul Ibad ).
0 komentar:
Posting Komentar